Rabu, 08 November 2017

Yang Jahat Bukan Rangga, Tapi Cinta! (Ada Apa dengan Cinta? 2)

Sumber poster : https://www.google.co.id/search?q=ada+apa+dengan+cinta+2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjE76rS-a7XAhWCvbwKHRqLChAQ_AUICigB&biw=1024&bih=420#imgrc=tyzW674_zpkQYM:
Ya, buat saya yang jahat adalah Cinta, bukan Rangga. Meski pada akhirnya Rangga tetap bisa dibilang jahat, tapi itu hanya dari sudut pandang Cinta. Dan dalam film ini, saya rasa tak adil jika berbicara atau melihat keutuhan cerita hanya dari sudut pandang Cinta dan Rangga saja. Pasalnya, ada hati yang tersakiti di antara mereka; ada sosok yang—menurut saya—sebenarnya penting dalam film ini. Siapa? Nanti ya. Ah ya, maaf kali ini saya (terpaksa) spoiler. Jadi buat kamu yang tak suka dengan spoiler, sebaiknya jangan baca. Tapi kalau tetap mau baca ya silakan.

Di bagian awal saya suka sekali dengan Karmen. Wajahnya bercerita banyak dengan apa yang dilewatinya sebelum film ini dimulai—tentu dengan tambahan cerita dari Cinta dkk. Ya, tentang kehidupannya 14 tahun yang tak digambarkan dalam film ini. Sehingga saya jadi berharap kalau Karmen ini adalah tokoh penggerak cerita, dan memang dia punya ‘tugas’ seperti itu. Terbukti dia yang kali pertama melihat Rangga di Jogja, dia yang usul kepada kawan-kawannya tuk menceritakan itu kepada Cinta, dia pula yang punya alasan mengapa Cinta harus menemui Rangga karena masa lalunya yang pahit, serta dia juga yang bandel diam-diam mempertemukan Rangga dengan Cinta. Saya suka sekali dengan Karmen di film ini.

Saya terus disuguhkan kembali tokoh-tokoh dengan karakter yang masih tetap kuat—bisa dibilang ini mengenalkan kembali karakter-karakter Cinta dkk yang mengingatkan saya pada kelucuan dan persahabatan di film pertamanya. Hanya saja ketidakhadiran Alya—yang memang sejak trailer-nya rilis tak ada—membuat saya kecewa. Sebab, sejak ‘Ada Apa dengan Cinta?’ di tahun 2002 lalu Alya-lah tokoh yang saya sukai. Hehe. Dan yang lebih menyedihkan lagi Alya diceritakan meninggal dunia karena kecelakaan. Tak ada cara yang lainkah? Sakit, misalnya. Hiks.

Di bagian awal pula ada sosok yang tadi saya bilang penting, yaitu Tristan. Dia ini pacarnya Cinta; tunangannya Cinta, yang saat itu bilang, “Semalam saya melamar Cinta, dan jawabannya ... ya!” Saat itu saya bergumam dalam hati, film ini akan seru. Tentu saya tahu Rangga akan kembali ke Jakarta, tentang jurang kebodohannya yang ingin memiliki Cinta sekali lagi. Nah, kehadiran Tristan ini akan menjadi batu, bahkan bisa menjadi tembok tinggi dan besar buat Rangga. Kemunculan Tristan beserta dialognya itu yang membuat saya—mungkin juga penonton lain—berharap betul film ini akan menguras emosi atau katakanlah luapan perasaan. Tristan adalah jawaban juga buat saya. Sebab, saya juga bertanya, ‘Masa iya Cinta tak punya pacar atau pada akhirnya suka dengan lelaki lain setelah Rangga meninggalkannya bertahun-tahun?’ Ini juga jadi logika cerita terlepas apa pun alasan Cinta dekat dengan Tristan selepas Rangga.

Cinta dkk ke Jogja. Kalau tak salah ada urusan pekerjaan atau melihat pameran seni, tapi sekaligus liburan. Mereka semua sepakat tidak membawa pasangan. Ini masih masuk akal kok. Berangkatlah mereka. Dari New York Rangga pun ke Jogja. Nah loh kok kebetulan? Ya, ada kebetulan di sini, tapi kebetulan ini saya sukai. Sebab, menurut saya Rangga punya alasan kuat kenapa pada akhirnya dia balik ke Jakarta dan ke Jogja. Sebagai orang yang suka membuat cerita, saya pasti melakukan hal yang sama soal kebetulan seperti ini. Yaitu alasan yang kuat dari adanya kebetulan tersebut. Ada cerita tentang keluarga Rangga, terutama tentang ibunya yang harus Rangga temui.

Akhirnya Cinta bertemu dengan Rangga berkat Karmen meski awalnya Cinta menolak. Saya juga menunggu alasan kuat kenapa Rangga memutuskan dan meninggalkan  serta membiarkan Cinta sakit hati bertahun-tahun. Rangga yang memang sederhana saat itu malu melihat Cinta dari keluarga yang sangat mapan. Dia yang masih muda, bahkan bilang usia 23 tahun—sebenarnya sih tidak muda juga ya—hidupnya sedang berantakan, dan berpikir dia hanya akan membuat Cinta susah. Maka, Rangga memutuskan Cinta sebagai jalan keluar. Buat saya alasan itu cukup kuat dan masuk akal. Tentu sebagai lelaki yang hidup sangat sederhana dan sedang kesulitan, ketakutan yang dirasakan Rangga itu manusiawi. Apalagi dia menegaskan dia yang saat itu masih muda. Maka saya bilang, sebenarnya Rangga bukan jahat—meski dari sudut pandang Cinta bisa dibilang jahat. Dia hanya pengecut tak bisa atau berani menjelaskan itu kepada Cinta di waktu yang lalu.

Lantas Cinta dan Rangga jalan seharian penuh. Sampai akhirnya Cinta diantar ke vila oleh Rangga. Selama pertemuan itu saya tahu bagaimana perasaan Cinta. Tentu saja Cinta masih memiliki cinta kepada Rangga. Jelas sekali terlihat. Rangga pun tahu itu. Hehe.

Ah ya, Cinta dihadiahi puisi oleh Rangga yang dibuat saat perjalanan ke Indonesia. Buat saya, itu puisi pamungkas atau jagoannya, hanya saja menurut saya sound atau musik saat puisi itu dibacakan kurang klop. Entah kenapa musiknya tidak mendukung, padahal itu harusnya megang banget emosi penonton. Sayang sekali. Ya, puisi yang pada akhirnya Cinta tahu kalau Rangga masih menginginkannya, yang pada akhirnya membuat dia galau; melihat hatinya lebih dalam siapakah yang sebenarnya dia cintai.

Rangga menyusul Cinta yang pulang ke Jakarta dengan percaya diri kalau perempuan itu masih mencintainya. Perasaan cinta memang menuntut. Itulah yang terjadi pada Rangga. Dia ingin Cinta kembali bersamanya. Hanya saja Cinta menolak dan menegaskan ingin menikah. Tentu saja Cinta bohong. Akhirnya Rangga pergi kembali ke New York, dan sebelumnya berpapasan dengan Tristan yang mau menjeput Cinta.

Di bagian inilah si tokoh penting tidak dimainkan secara lebih. Tristan hanya minta penjelasan kepada Cinta yang akhirnya cerita tentang pertemuan dengan Rangga. Tentu saja Tristan kecewa. Tiba-tiba cerita berlanjut ke Cinta yang mengendarai mobil mengejar Rangga ke bandara, tentu saya tahu Cinta mau kembali kepada Rangga—penonton lain pun mungkin berpikir hal yang sama. Hanya saja yang membuat kecewa, tokoh Tristan yang penting ini tidak dimainkan sebagai batu atau tembok besar, dia hanya batu kerikil kecil yang mengganjal langkah Cinta dan Rangga. Padahal, film ini berdurasi 124 menit, artinya punya waktu yang sangat cukup untuk membuat adegan ... katakanlah Tristan marah-marah kepada Cinta atau terjadinya pertengkaran yang hebat antara keduanya; jadikan Tristan penghalang yang kuat. Atau dengan durasi itu bisa memilah mana bagian yang sangat penting dan bagian yang bila dihilangkan tidak mengurangi cerita itu sendiri. Tiba-tiba saja Cinta mengejar Rangga, dan saya dibiarkan menerka-nerka apa yang terjadi dengan Cinta dan Tristan sebelum itu. Padahal sebagai penonton saya butuh apa yang Tristan lakukan atau perbuat setelah tahu Cinta—sebagai calon istrinya—bertemu dan jalan bersama Rangga—mantan kekasih calon istrinya itu. Cinta meninggalkan Tristan begitu saja, kah? Tak ingatkah Cinta saat dia ditinggalkan oleh Rangga begitu saja?

Jadi, siapa yang jahat? Cinta atau Rangga?

Salam,
Ari Keling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar