Saya suka sekali dengan film horor yang membuat kalimat atau perkataan yang pada akhirnya menyusup dalam ingatan. Jika di film 'Case 39' ada dialog "Why, Emily? Why, Emily?" dan di film 'The Conjuring' ada 'Miss me?', maka di film 'The Conjuring 2' ada 'This is my house ....'. Kali ini tentu saya akan coba mengulas film 'The Conjuring 2'. Menurut saya tidak spoiler. Pasalnya, sebagian info yang akan saya bicarakan sebenarnya sudah disajikan--baik di blurb maupun di media--terlebih dahulu sebelum filmnya tayang.
Film 'The Conjuring 2: The Enfield Poltergeist' ini menceritakan kisah nyata, yaitu salah satu kasus terseram pada tahun 1977 hingga 1979 yang terjadi di Inggris, tepatnya di Enfield, pinggiran kota London. Adalah Peggy Hodgson, seorang single mother yang memiliki empat anak: Janet, Margaret, Billy dan Johnny. Kisah ini berpusat pada Janet, gadis 11 tahun yang diganggu oleh makhluk halus di rumahnya.
Dari cuplikan pertama dan kedua film ini, buat saya sangat menjanjikan. Ya, terbukti di bagian awal langsung mencekam dari Lorraine yang melakukan astral project. Dan lagi, mungkin banyak penonton yang tidak sadar atau tidak tahu, bahwa kita sebagai penonton sudah 'dihajar' terlebih dahulu oleh musik buatan Joseph Bishara. Saya yakin sekali itu konsep James Wan dkk bagaimana menimbulkan kesan seram, teror atau angker di awal. Ya, salah satunya lewat musik. Film Wan memang begitu.
Waktu selesai menonton 'The Conjuring' yang pertama, saya sangat 'terganggu' atau penasaran dengan kisah masa lalu Ed dan Lorraine Warren; saat Ed bilang ada yang dirahasiakan oleh Lorraine kepadanya. Pasti ada kawan-kawan yang inget atau ngeh soal ini. Nah, di sekuelnya ini rahasia itu dibongkar, karena apa yang dulu Lorraine 'lihat' saat menangani kasus sejenis, kali ini terlihat lagi. Rahasia yang pada akhirnya diberitahu kepada Ed tentu membuat keduanya takut setengah mati.
'The Conjuring' yang pertama menuai sukses. Di Muvila.com menyebutkan, pendapatan box office secara global sebesar 318 juta dolar AS dari bujet produksi 20 juta dolar AS. Bukan hanya itu, film arahan James Wan ini dianggap terlalu seram, sampai MPAA (Motion Picture Association of America) memberi rating R (Restricted). Nah, lantaran hal ini saya yakin sekali tentu ada beban yang Wan rasakan saat menggarap sekuelnya. Pasti banyak pertimbangan yang Wan pikirkan. Maka apa yang saya saksikan film sekuelnya ini banyak perbedaan meski konsep besarnya sama. Di film ini saya melihat ada kematangan lebih dan kejelian seorang Wan. Misal dialog--kalau tak salah--tentang kadang kita percaya dengan apa yang tidak dipercaya orang. Kalimat itu bukan sekadar kalimat, ada maksud dan tujuan tuk film ini. Contoh lain saat Ed membetulkan keran di wastafel rumah Peggy, ini juga bukan hal remeh, ada tujuannya. Yakni, pada akhirnya Ed mau atau menawarkan diri memeriksa ruangan bawah. Di sana Ed membetulkan saluran air. Kesan yang muncul ke saya, bahwa Ed memang bukan hanya paranormal, tapi dia juga bisa membetulkan hal-hal semacam itu. Jadi tidak ujug-ujug. Kira-kira begitu. Jangan tanya soal kemunculan hantunya, Wan paham betul bagaimana memunculkan hantu, arwah atau iblis di waktu yang tepat. Film ini pula lebih gereget daripada yang pertama. Ya, dalam cerita ada tekanan dari media dan dari orang-orang yang tak percaya hantu. Apalagi pada saat itu ada saja kejadian serupa yang ternyata sebuah kebohongan, terlepas dari orang atau keluarga itu mau tenar atau dapat uang dll. Sehingga pihak gereja pun tak bisa langsung menangani kasus seperti itu karena reputasi. Nah, Peggy yang sedang susah masalah ekonomi ini jadi dianggap punya modus seperti itu. Belum lagi soal Janet yang tersiksa kelelahan tak bisa tidur tenang, tentang dia yang tak dipercaya banyak orang, dia yang beda atau tak normal, dia yang ditakuti banyak orang, sampai kemudian tak punya teman. Ada keharuan yang kadang tiba-tiba muncul di film ini, guys. Dan lagi, selain ada iblis, ada pula arwah Bill Wilkins dan hantu orang bengkok. Ya, buat saya film ini lebih gereget dari sisi cerita. Mungkin benar ini kejelian James Wan agar sekuelnya ada pembeda, atau barangkali kisah nyatanya memang seperti itu dan diperkuat atau dimatangkan oleh Wan.
Film berdurasi 133 menit ini menurut saya agak lamban daripada teror di film pertamanya, sehingga jika dibandingkan dengan film pertama jadi kalah seram. Rasa mencekam yang sudah dibangun di awal pun berangsur-angsur berkurang menuju pertengahan. Sekali lagi jika itu dibandingkan dengan film pertamanya. Menurut saya ini risiko dari pembeda itu; beberapa bahasan di luar kisah Janet itu sendiri. Meski penyelesaiannya terlalu cepat, tapi 'The Conjuring 2' tetap memikat.
Saran saya, jangan sampai telat nonton film ini. Pastikan sudah duduk di bangku sebelum film dimulai. Jangan beranjak pulang dulu karena di akhir ada gambaran keluarga Peggy Hodgson yang aslinya, baik foto saat kumpul keluarga maupun saat kejadian seram itu tengah berlangsung.
Salam,
Ari Keling.