Rabu, 08 November 2017

Ketika Si Jenius Patah Hati (Rudy Habibie: Habibie Ainun 2)

Sumber gambar atau poster : MD Pictures.
Film ini memang sudah saya tunggu lantaran trailer-nya yang menurut saya sangat menjanjikan, tentu jika dilihat dari kisah cinta antara Rudy dan Illona. Ya, dari cuplikan itulah rasanya film ini akan ‘megang’ banget emosi penonton dan bisa jadi membuat kita berkali-kali berusaha membendung air mata. Namun, sebelum menonton saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa Rudy dan Illona tak akan bisa bersama; mereka akan berpisah; ini kisah cinta mereka yang tak sampai. Lagi-lagi, semua itu saya tahu dari trailer atau cuplikannya, tentang perbedaan agama dan negara. Pun ini film prekuel Habibie & Ainun, jadi saya sudah tahu akhir kisah cinta Rudy dan Illona. Lantas mengapa saya tetap merasa film ini menarik dari sudut pandang romance atau kisah cerita mereka? Ya, tentu saya ingin tahu bagaimana kisah Rudy dan Illona yang bahkan hanya dari trailer-nya saja seperti saling mencintai dengan sangat hebat.

Sekali lagi, karena cuplikannya itu saya terlupa bahwa ini film bergenre drama tentang kisah muda sang visioner: Rudy Habibie sebelum dikenal sebagai teknokrat dan presiden Republik Indonesia ke-3: B. J. Habibie. Rudy ingin sekali membuat pesawat terbang. Dia pula ingin menjadi ‘mata air’ seperti pesan Papinya sebelum meninggal dunia agar berguna untuk orang banyak. Ya, bahkan film ini dimulai jauh sebelum Rudy sampai kuliah di RWTH Aachen, Jerman Barat. Awalnya menceritakan Rudy yang masih bocah dan hidup di Parepare, dan saat itu masih terjadi peperangan atau pengeboman oleh pesawat-pesawat penjajah—yang awalnya membuat dia membenci pesawat terbang. Saat Rudy sekeluarga dan para penduduk harus mengungsi mencari tempat yang lebih aman, yang paling saya ingat di saat genting itu dia bersikeras membawa pesawat mainannya dan sebuah buku. Sampai akhirnya dia sekeluarga ke Gorontalo karena memang Papinya berasal dari sana.

Di blurb film ini diberitahu pesan almarhum Papinya. Papinya meninggal saat menjadi imam salat sekeluarga; ketika sujud. Bagian ini sangat mengharukan. Ya, membuat seluruh penonton yang full dalam studio terdiam sedih—karena film ini ada uncur komedinya. Bahkan, saya pun diam-diam menahan sesak dalam dada. Mungkin karena saya tahu betul rasanya kehilangan seorang Bapak di saat usia masih terbilang sangat muda. Dan tentu, bagaimanpun kehilangan seseorang yang kita sayangi membuat sedih, yang pada akhirnya pula kita harus menerima. Ya, itulah hidup, setiap yang berjiwa pasti mati.

Kembali pada Rudy yang akhirnya kuliah di RWTH Aachen. Rudy hidup dalam kondisi terbatas, belajar tentang persahabatan, cinta, dan pengkhianatan bersama para mahasiswa Indonesia lainnya. Banyak konflik yang terjadi pada Rudy yang begitu ambisi dan percaya dengan cita-citanya: dari kelompok tentara pelajar Indonesia yang tak suka padanya, dari dia yang akhirnya berorganisasi dengan ikut Perhimpunan Pelajar Indonesia bahkan didaulat menjadi ketua PPI se-Eropa, dari dia yang akhirnya sakit tuberculosis tulang, dari dia yang akhirnya dikhawatirkan menjadi ancaman bagi Jerman karena Indonesia bukan bagian dari NATO; ditakutkan penelitiannya jatuh ke tangan komunis, sampai kalau tak salah dia ditawari pindah kewarganegaraan.

Saat Rudy mulai dikenal sebagai orang yang jenius, banyak gadis yang terpikat padanya. Muncullah Illona Ianovska, gadis Polandia yang memang sangat menyukai Indonesia dan pernah tinggal bersama orangtuanya di Marsawa. Padahal, sebelumnya Rudy mendapat perhatian dari gadis manis bernama Ayu—adik putri keraton Solo—yang sayangnya tak terlalu ditanggapi. Mungkin juga Rudy tidak peka. Hehe. Bisa dibilang cinta Ayu bertepuk sebelah tangan.

Rudy dan Illona jadi sering bersama setelah berkenalan. Saya sempat bingung bagaimana keduanya seperti tiba-tiba saja bisa menjalin hubungan asmara yang terlihat begitu kuat. Jika dilihat dari Rudy dan Indonesia, film ini sangat bagus. Namun jika dilihat dari cinta Rudy dan Illona, rasanya ada yang kurang dibangun sampai keduanya tampak memiliki cinta sebesar gunung. Sampai kemudian saya berpikir, ah soal perasaan memang rumit—ada perasaan hebat yang cepat tumbuh dan ada pula yang perlahan-lahan. Kira-kira seperti itulah. Atau ... mungkin karena Illona yang menyukai Indonesia dan kemudian bertemu dengan laki-laki Indonesia yang jenius. Mungkin juga karena hanya Illona, gadis yang sangat mendukung dan memercayai segala mimpi dan cita-cita Rudy. Ya, memang jika kita bertemu dengan seseorang yang percaya betul dengan semua mimpi-mimpi kita, cita-cita kita, segala kegilaan kita, betapa membahagiakan dan sulit sekali untuk dilepaskan. Atau memang barangkali kisah nyatanya seperti itu adanya.

Tibalah pada pilihan-pilihan. Mami Rudy menemui Illona, menjelaskan jika Illona benar-benar mencintai Rudy apakah dia bersedia pindah ke Indonesia dan menjadi Islam? Tentu tidak mudah. Illona yang benar mencintai Rudy sebenarnya tak paham betul apakah Rudy benar-benar mencintainya, sampai kemudian dia juga bertanya, apakah seorang Rudy pantas menerima pengorbanannya itu?

Seperti menemui jalan buntu. Illona pun mengajak Rudy untuk pergi bersama memulai kehidupan baru. Dengan kalimat lain, Rudy diminta memilih antara Indonesia atau Illona. Dengan berat hari Rudy melepas Illona. Selain dialog-dialog atau percakapan antara Rudy dan Illona yang bagus dan ‘romance banget’, saya akui ketika perpisahan mereka di stasiun pun punya ‘rasa’ yang cukup memukul dada dan membuat mata berkaca-kaca. Di saat terakhir itu pula tak lepas karena diiringi lagu yang dinyanyikan oleh Cakra Khan—Mencari Cinta Sejati—yang menjadi OST film ini.

Baiklah segitu saja. Kemudian kita menunggu Habibie & Ainun 3 dan kemungkinan ini prekuel keduanya.

Salam,
Ari Keling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar